Related Post

blog ini berisi ribuan artikel kesehatan, askep, askeb, KTI, silahkan pakai kolom pencarian berikut:
Showing posts with label Keperawatan Dalam. Show all posts
Showing posts with label Keperawatan Dalam. Show all posts

Askep Apendisitis

Asuhan Keperawatan Appendiksitis (Askep Appendiksitis)


1. Pengertian
BERI-BERI.com, Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks (Anonim, Apendisitis, 2007).

2. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
  1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
  2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

3. Etiologi
Appendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat :
  1. Hiperplasia dari folikel limfoid.
  2. Adanya fekalit dalam lumen appendiks.
  3. Tumor appendiks.
  4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis.
  5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.
Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan appendiksitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.

4. Tanda dan gejala
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.

Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahuipada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.

Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi klien memburuk.

5. Patofisiologi (pathway Appendiksitis)
Penyebab utama appendiksitis adalah obstuksi penyumbatan yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari polikel lympoid merupakan penyebab terbanyak adanya fekalit dalam lumen appendik.Adanya benda asing seperti: cacing,striktur karenan fibrosis akibat adanya peradangan sebelunnya.Sebab lain misalnya : keganasan (Karsinoma Karsinoid).

Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.

Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi.

Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi ; 1982).

6. Komplikasi
  • Perforasi dengan pembentukan abses
  • Peritonitis generalisata.
  • Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.

7. Pencegahan
Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya gangren,perforasi dan peritonitis.

8. Penatalaksanaan
Pada appendiksitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang persitaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain di perut kanan bawah.
  • Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirabaring dan dipuasakan.
  • Tindakan operatif ; appendiktomi.
  • Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Appendiksitis

A. Pengkajian
  1. Identitas Pasien
    Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
  2. Riwayat Keperawatan
    • Riwayat Kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
    • Riwayat Kesehatan masa lalu
  3. Pemeriksaan Fisik
    • Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
    • Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.
    • Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.
    • Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
    • Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.
  4. Pemeriksaan Penunjang
    • Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
    • Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.

Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada abdomen kuadran kanan bawah post operasi appenditomi.
  2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri.
  3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi.
  4. Resiko kekurangan volume cairan sehubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral.

Intervensi
Diagnosa Keperawatan 1. :
Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada daerah mesial abdomen post operasi appendiktomi
Tujuan
Nyeri berkurang / hilang dengan
Kriteria Hasil :
Tampak rilek dan dapat tidur dengan tepat.
Intervensi
  • Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
  • Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler.
  • Dorong ambulasi dini.
  • Berikan aktivitas hiburan.
  • Kolborasi tim dokter dalam pemberian analgetika.
Rasional
  1. Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan penyembuhan,perubahan dan karakteristik nyeri.
  2. Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang.
  3. Meningkatkan kormolisasi fungsi organ.
  4. meningkatkan relaksasi.
  5. Menghilangkan nyeri.

Diagnosa Keperawatan 2. :
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri
Tujuan
Toleransi aktivitas
Kriteria Hasil :
  • Klien dapat bergerak tanpa pembatasan
  • Tidak berhati-hati dalam bergerak.
Intervensi
  • catat respon emosi terhadap mobilitas.
  • Berikan aktivitas sesuai dengan keadaan klien.
  • Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif.
  • Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan.
Rasional
  1. Immobilisasi yang dipaksakan akan memperbesar kegelisahan.
  2. Meningkatkan kormolitas organ sesuiai dengan yang diharapkan.
  3. Memperbaiki mekanika tubuh.
  4. Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan.
Diagnosa Keperawatan 3. :
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi
Tujuan
Infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan peradangan
Intervensi
  • Ukur tanda-tanda vital
  • Observasi tanda-tanda infeksi
  • Lakukan perawatan luka dengan menggunakan teknik septik dan aseptik
  • Observasi luka insisi
Rasional
  1. Untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi
  2. Deteksi dini terhadap infeksi akan mudah
  3. Menurunkan terjadinya resiko infeksi dan penyebaran bakteri.
  4. Memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka.

Diagnosa Keperawatan 4. :
Resiko kekurangan volume cairan berhubungna dengan pembatasan pemasuka n cairan secara oral
Tujuan
Kekurangan volume cairan tidak terjadi
Intervensi
  • Ukur dan catat intake dan output cairan tubuh
  • Awasi vital sign: Evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
  • Kolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian cairan intra vena
Rasional
  1. Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan pengganti.
  2. Indikator hidrasi volume cairan sirkulasi dan kebutuhan intervensi
  3. Mempertahankan volume sirkulasi bila pemasukan oral tidak cukup dan meningkatkan fungsi ginjal

Daftar Pustaka
  1. Barbara Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta.
  2. Carpenito, Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.
  3. Doenges, Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000, Jakarta.
  4. Elizabeth, J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
  5. Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal Bedah (Pendekatan Gastrointestinal), EGC, Jakarta.
  6. Peter, M, Nowschhenson, Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula. Bina Aksara Jakarta
lihat artikel selengkapnya - Askep Apendisitis
------------------------------

Gagal Jantung

Gagal Jantung (Congestive Heart Failure)

1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaring an dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001).
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan Oksigen dan nutrisi.

2. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
  • Disritmia, seperti: Bradikardi, takikardi, dan kontraksi premature yang sering dapat menurunkan curah jantung.
  • Malfungsi katup, dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
  • Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium, penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi l uas karena hipertensi pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik. 
  • Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi selama 8 hari pertama setelah infark.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung kongestif, yaitu: kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) , peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, penyakit jantung lain, faktor sistemik.

3. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2001) berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Menurut New York Heart Association (Mansjoer, 2001) klasifikasi fungsional jantung ada 4 kelas, yaitu:
Kelas 1 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari-hari tidak menyebabkan keluhan.
Kelas 2 : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai akti vitas fisik terbatas. Tidak ada keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari - hari akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi ak tivitas fisik ringan saja akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa terganggu. Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan telah terdapat pada keadaan istirahat.

4. Patofisiologi / pathway
Menurut Soeparman (2000) beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (Venous return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi , dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diata s sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga tepenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung. Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastol dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan akib at terjadinya kenaikan tekanan rata - rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena - vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru - paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda - tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri - kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atr ium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena -vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan dalam hepar) dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bika keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites.

5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak dan Gallo (1997) tanda dan gejala yang terjadi pada gagal  jantung kiri antara lain kongesti vaskuler pulmonal, dyspnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, batuk, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung, gallop atrial (S3), gallop ventrikel (S4), crackles paru, disritmia, bunyi nafas mengi, pulsus alternans, pernafasan chey ne-stokes, bukti - bukti radiologi tentang kongesti vaskuler pulmonal. Sedangkan untuk gagal j antung kanan antara lain curah jantung rendah, peningkatan JVP, edema, disritmia, S3 dan S4 ventrikel kanan, hiperesonan pada perkusi.

6. Diagnosis
Menurut Framingham ( Mansjoer, 2001) kriterianya gagal jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.
a. Kriteria mayor terdiri dari:
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan vena jugularis
3) Ronchi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O 8) Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:
1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum
7) Takikardi (>120 x/ menit) Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor harus ada di saat bersama an.

7. Potensial Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) potensial komplikasi mencakup: syok kardiogenik, episode tromboemboli, efus i perikardium, dan tamponade perikardium.

8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat d ilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
a. Elektro kardiogram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikule r, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi, fibrilasi atrial.
b. Skan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .
c. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/ struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.
d. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.
f. Enzim hepar
Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.
g. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal, terapi diuretik.
h. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut menjadi kronis.
i. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
j. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
k. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung kongestif.

9. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure adalah:
a. Meningkatkan Oksigenasi dengan pemberian Oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat / pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan aritmia.
2) Digitalisasi, digoksin, condilamid.
c. Menurunkan beban jantung
1) Menurunkan beban awal dengan:
a) Diit rendah garam
b) Diuretik: furosemid ditambah kalium
c) Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting enzyme (ACE), Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid.
2) Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol.
lihat artikel selengkapnya - Gagal Jantung
------------------------------

KOTAK PENCARIAN:

blog ini berisi ribuan artikel kesehatan, askep, askeb, KTI, silahkan pakai kolom pencarian berikut: